LIPUTANBEKASI.COM - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan berencana melakukan tabayyun atau klarifikasi dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) guna menyamakan persepsi mengenai kesesuaian regulasi perpajakan dengan prinsip keadilan agar tidak memunculkan polemik di tengah masyarakat.
Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu Bimo Wijayanto menjelaskan bahwa DJP sebelumnya telah menggelar pertemuan pendahuluan dan Focus Group Discussion (FGD) bersama Komisi Fatwa MUI pada September lalu.
“Pada prinsipnya, teman-teman anggota Komisi Fatwa MUI memahami terjemahan dari undang-undang yang kami jelaskan,” ungkap Bimo menjelaskan bahwa diskusi tersebut sudah memberikan pemahaman teknis mengenai regulasi pajak.
“Mereka lebih ke arah bagaimana umat Islam ini bisa lebih memahami konteks dari sisi kesepakatan para ulama, nah setelah ini kami juga akan tabayyun,” lanjutnya menegaskan pentingnya komunikasi yang lebih terbuka.
Bimo menegaskan bahwa Kemenkeu berkomitmen menghindari munculnya perbedaan pendapat yang tidak perlu mengenai kebijakan pajak sehingga kolaborasi dengan pemuka agama menjadi penting dalam menjaga pemahaman publik tetap selaras.
Ia menjelaskan bahwa salah satu poin utama dalam prinsip keadilan pajak adalah konsep ‘daya pikul’ atau kemampuan membayar wajib pajak agar pajak hanya dibebankan kepada mereka yang memang memiliki kecukupan finansial.
Bimo memastikan bahwa sistem perpajakan nasional telah menerapkan prinsip berkeadilan sehingga masyarakat yang tidak mampu tidak akan terbebani pajak berlebih dan tetap mendapatkan perlindungan sesuai undang-undang.
Ia menerangkan bahwa perlindungan tersebut telah diakomodasi dalam bentuk Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang memastikan wajib pajak berpenghasilan rendah tidak terkena kewajiban membayar pajak penghasilan.
“Ini kan sudah ada konsep Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), kemudian untuk UMKM juga sudah ada threshold, di bawah omzet Rp500 juta tidak kena pajak, sedangkan Rp500 juta hingga Rp4,8 miliar bisa memanfaatkan pajak final,” ujarnya menegaskan bahwa UMKM sudah difasilitasi aturan yang lebih ringan.
Selain isu pajak UMKM, Bimo juga menyoroti persepsi publik mengenai Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan atau PBB-P2 yang sering dikaitkan dengan aset lembaga keagamaan seperti pesantren dan sekolah.
Ia mengklarifikasi bahwa kewenangan pemungutan PBB-P2 telah beralih ke pemerintah daerah sehingga penetapan dan kebijakannya berada di luar kewenangan pemerintah pusat sejak beberapa tahun terakhir.
Meski demikian, Bimo menjelaskan bahwa regulasi tetap memberikan perlindungan bagi aset yang digunakan untuk kegiatan sosial, pendidikan, kesehatan, dan keagamaan yang bersifat non-profit melalui skema pengecualian, diskon, atau tarif khusus.
“Sepemahaman kami ada fasilitas khusus, berupa ada diskon, ada potongan nilai PBB-P2 yang harus dibayar, jadi itu pun sudah ada pertimbangan,” katanya memastikan bahwa lembaga keagamaan tidak serta-merta dibebani pajak penuh.
Bimo juga menegaskan bahwa penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tetap menjunjung asas keadilan dengan mengecualikan barang kebutuhan pokok yang menjadi hajat hidup orang banyak sehingga kebutuhan dasar masyarakat tidak terkena beban pajak tambahan.